Ditulis oleh RICO FEBPUTRA SH
OPINI, (Riaubertuah.co) – Tidak ada yang menarik pada perhelatan HUT- RI ke 73 kali ini, seonggok harapan 73 tahun silam masih sama dan tak pernah berkurang walau hanya secuil persamaan.
Kaum tertinggal didataran tinggi kabupaten Kampar ini masih hidup dalam peradaban zaman batu, sementara laman mereka digadang-gadang sebagai paru-paru dunia namun nafas mereka sesak dalam ketertinggalan.
Menggeliatnya pembangunan Republik ini sepertinya belum sepenuhnya menyentuh daerah hulu dikabupaten Kampar ini. Namanya selalu didengar dan popular saat moment politik menyeruak, ketertinggalannya dijadikan sebagai komoditas politik, dijual, diobral dan digadaikan, namun ketertinggalannya selalu dipelihara oleh tuan besar guna kepentingan politik untuk masa-masa mendatang, sehingga wajar Kampar Kiri Hulu selalu tertinggal, karena isu ketertinggalan adalah isu yang seksi untuk selalu mereka pelihara.
Minimnya Akses Jalan
Selain jauh dari pusat Kabupaten Kampar yang berbatasan dengan Provinsi tetangga Sumatera Barat, daerah ini masih menjadi daerah yang jauh dari manisnya pembangunan. Ketertinggalan ini terhambat karena Qonun “Regulasi” yang terlahir Sungsang, alih-alih kekayaan Rimbang Baling bisa dimamfaatkan, tebangan pohon didalam ladang saja bisa berujung jeruji, lalu kemana lagi mereka bertumpu agar kekayaan alam tak lagi menjadi Kutukan.
Dibahagian Hulu Subayang dan Sungai Bio, 16 desa seperti negeri tak bertuan, tidak ada satupun jalan yang pernah diinjak ban mobil, sehingga perahu adalah penghubung mereka dengan dunia luar, wajar jika satu persatu anak kemanakan meninggalkan leluhurnya merantau dan mengadu nasib dinegeri orang, alasannya sederhana, mereka ingin mendapatkan kehidupan yang layak seperti masyarakat lainnya.
Mereka harus menepis rindu saat masa-masa kecilnya menyelam didasar sungai subayang untuk mendapatkan ikan Silimang harus mereka tinggalkan, bukan tidak rindu, namun azam mereka untuk mencapai harapan mengalahkan kerinduannya pada leluhurnya.
Berbeda dengan Kampar Kiri Hulu bahagian sungai, daerah bahagian utara Kampar Kiri Hulu ini telah memiliki jalan yang jika dilewati dari lipatkain hingga desa Pangkalan Kapas berkisar sekitar 92 kilometer, dari total 92 kilometer tersebut, 57 KM diantaranya adalah jalan yang tidak layak untuk dilalui.
Ini berdasarkan keadaan jalan yang tidak diaspal, berlubang, kemiringan yang tidak stabil, ditambah lagi jalan yang licin serta berkontur curam.inilah yang mengakibatkan jika musim hujan jalan akan berlumpur dan longsor, sementara jika kemarau jalan membatu dan tertutupi kabut jalan. Dan hancurnya akses jalan inilah yang menciptakan masalah abadi di Kampar Kiri Hulu, yaitu rawan pangan.
Kondisi rawan pangan ini sebenarnya adalah efek domino dari banjir dan longsor yang terjadi di Kampar Kiri Hulu. Bencana rutin ini sebenarnya bisa diprediksi dan diantisipasi dengan bijak mengingat bencana ini adalah bencana tahunan yang terjadi saat musim hujan tiba. Namun lagi-lagi pemerintah gagap menanggapi musibah tahunan ini.
Listrik Dan Jaringan Komunikasipun Seperti Mimpi
Setali mata uang, minimnya infrastruktur jalan diperburuk lagi dengan tidak adanya akses listrik dan jaringan komunikasi yang hampir dirasakan lebih dari 20 desa disana. Saat malam menjelang kondisi gelap gulita adalah pemandangan yang lumrah dirasakan oleh warga disana. Berbeda dengan daerah lainnya di Kampar, Keadaan ini sudah dirasakan warga semenjak dulu kala, berharap mendapatkan sarana penerangan yang layak sepertinya hanya mimpi dan khayalan belaka.
Wajar jika kebanyakan warga asli dari Kampar Kiri Hulu ini lebih suka tinggal di Lipatkain (Kampar Kiri) jika dibandingkan terkurung dalam rimba belantara yang gelap tanpa adanya sarana yang layak disana.
Begitu juga halnya dengan jaringan komunikasi seperti signal dan TV, belasan desa disana seperti hidup sebelum tahun 80an, dimana saat itu belum adanya jaringan komunikasi seperti HP dan siaran TV Swasta, bukannya tak sanggup beli, warga tidak diberikan kesempatan untuk menikmati akses komunikasi seperti kebanyakan orang, sehingga wajar jika sekitar 11.547 penduduk yang menghuni dataran tinggi dihulu kabupaten Kampar ini tidak mengerti perkembangan dunia serta isu-isu hangat yang sedang diperbincangkan.
Sarana Pendidikan Dan Kesehatan Yang Tak Pernah Layak
Disamping listrik ternyata ada yang lebih memprihatinkan untuk generasi muda Kampar Kiri Hulu. Yaitu penyebaran tenaga pendidik (Guru,red) yang tidak merata, disamping tidak merata dengan jumlah populasi 11 ribu orang lebih jumlah sekolah SD hanya 28 sekolah, SMP 8 Sekolah dan SLTA hanya 2 sekolah saja yang tersebar di 24 desa se Kampar Kiri Hulu.
Kondisi ini diperparah lagi dengan jumlah guru yang hanya berkisar hanya 133 guru yang tersebar dari 37 sekolah dari segala tingkat sekolah, kondisi ini sangat ironis, yang menyebabkan mutu pendidikan terhadap regenerasi anak bangsa di wilayah hulu ini sangatlah rendah.
Selain penataan dan pendistribusian guru, pembangunan sarana pra-sarana dibidang pendidikan juga ‘amburadul’, meski disegi anggaran dunia pendidikan sangat diprioritas, namun realisasi tidak sesuai harapan masyarakat. Seperti baru-baru ini ditemukan sebuah sekolah Marginal di desa Batu Sasak, gedung sekolahnya hanya berdindingkan papan dan berlantaikan tanah, sungguh jauh dari keadaan layak, namun itulah yang terjadi disana.
Selain itu penyebaran guru yang tidak merata merupakan masalah klasik yang tak kunjung usai, masalah politis menjadi faktor penyebab banyaknya guru yang menumpuk di perkotaan. tidak sedikit guru yang bertugas di pedesaan Kampar Kiri Hulu mengajukan surat pindah ke Bangkinang atau daerah lainnya yang lebih bagus dari desa-desa di Kampar Kiri Hulu.
Apalagi, setiap guru yang pindah sudah memegang surat rekomendasi, Sehingga wajar daerah terpencil adalah momok yang menakutkan bagi guru-guru, alasannya sangat klasik, yaitu tidak ada akses.
Disamping pendidikan adalagi persoalan rumit yang dihadapi oleh masyarakat disana, yaitu minimnya sarana dan prasarana kesehatan, untuk seluruh wilayah Kampar Kiri Hulu hanya 2 Puskesmas yang beroperasi, yaitu diwilayah Gema dan Batu Sasak, kedua puskesmas ini hanya terdapat 3 orang dokter peraktek. Padahal berdasarkan ketentuan rasio World Health Organization. Sesuai ketentuan, seharusnya ada 1 orang dokter umum per 2 ribu penduduk.
Dan jika dibandingkan dengan kondisi Kampar Kiri Hulu saat ini, seharusnya untuk wilayah dan jumlah penduduk sebesar itu minimal Kampar Kiri Hulu butuh 6 orang dokter umum.
Minimnya sarana kesehatan turut dirasakan oleh masyarakat tempatan, ini dibuktikan dengan jauhnya rentang kendali antar satu desa dengan desa lainnya sementara untuk 24 desa tersebut hanya terdapat 8 Puskesmas Pembantu yang konon katanya tidak berfungsi maksimal seperti yang diharapkan.
Bukan tidak ada usaha, bahkan tidak sekali Gubernur dan bahkan Menteri dari berbagai zaman datang kesana, namun tak satupun tuan besar ini duduk sejenak bersila beradu lutut dengan mereka putra negeri Subayang untuk membahas dan mencari solusi tentang ketertinggalan ini.
Bahkan mereka tidak sekali menghirup wanginya asap kemenyan dari kekhalifaan Ludai dan merahnya sirih dari kekhalifaan Songgan. Namun lagi-lagi tidak ada jejak pembangunan yang mereka tinggalkan disana selain dari pada harapan.
Kini riak dan sorak kemerdekaan kembali ditabuhkan, seakan-akan nenek moyang mereka tidak turut berjuang memperebutkan kemerdekaan ini, padahal saat bumi pertiwi ini masih bernama Nusantara, saat belum ada bendera merah putih berkibar lantang diangkasa, nenek moyang orang Kampar Kiri Hulu sudah mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda, membangun jaringan rel kareta api dari Sijunjung hingga ke Pekanbaru saat Nippon Berkuasa, mereka sanggup mati, namun mereka berpantang tuk mundur sebab adat dan istiadat adalah wahyu bagi mereka dalam menghantarkan Indonesia hingga mencicipi kemerdekaan.
Entahlah, semoga tulisan ini bisa mereka baca, agar tidak ada lagi ketulian ditelinga mereka.
(Tulisan : Rico Febputra, SH)