BANGKINANG, RIAUBERTUAH.ID - Beberapa minggu membahas ini, rakyat Indonesia dikejutkan dengan rencana kebijakan Pemerintah Jokowi menaikkan iuran BPJS kesehatan.
Iuran BPJS ini dalam rencananya akan dinaikkan 100%, berarti peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kelas I yang membutuhkan pembayaran Rp80.000 per bulan maka akan membayar Rp160.000, untuk peserta JKN Kelas II yang membayar Rp51.000 kemudian naik menjadi Rp110 .000. Sedangkan untuk peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya membayar sebesar Rp25.000 harus menaikkan iuran sebesar Rp42.000 per bulan.
Ketua SRMI, Serikat Rakyat Miskin Indonesia Kab Kampar Anwar mengatakan bahwa kenaikan biaya kesehatan di tengah-tengah ekonomi rakyat belum stabil semakin meningkatkan Pemerintahan Jokowi dalam sektor kesehatan belum sama sekali menunjukkan keberpihakannya pada rakyat dan amanah konstitusi dan nawacita.
“Kenaikan tarif BPJS di tengah ekonomi rakyat belum stabil, akan berdampak buruk bagi rakyat Indonesia,” kata Anwar, Rabu (18/9/2019) di sekretariat LMND dan SRMI jalan Ayani Bangkinang.
Selain itu, Anwar mengatakan bahwa kenaikan BPJS membuat sektor kesehatan semakin liberal dan komersil. Hal ini, menurut Anwar dapat dilihat dari beberapa faktor.
“Yang pertama, Negara mengurangi peran dan bertanggung jawabnya terhadap sektor kesehatan dan menyerahkan sepenuhnya dalam kaitannya dengan pasar untuk mencari keuntungan. Dengan defisit BPJS, pemerintah harus mencari jalan keluar yang lain dan memperbaiki tata kelola BPJS yang setiap tahun mengalami defisit terus meningkat, akibat korupsi dan lain-lain, terangnya.
“Yang kedua, kita ketahui bersama bahwa UUD 1945 telah menggariskan besaran dana kesehatan sebesar 5 % dari APBN. Tahun 2019 anggaran kesehatan sebesar 121,9 triliun dan untuk kepesertaan BPJS sebesar 20,1 triliun. Dari 20,1 triliun ini ada sekitar 190 juta jiwa rakyat Indonesia sebagai peserta layanan kesehatan. Seharusnya anggaran besar ini bisa mengatasi problem deficit BPJS sebesar 16,5 triliun di tahun 2019 dan diperkirakan akan terus meningkat ditahun-tahun selanjutnya,” tambahnya.
“Artinya besaran anggaran yang dikeluarkan di sektor kesehatan belum menunjang perbaikan kualitas kesehatan rakyat. Faktor penunjangnya bisa dilihat dari pembangunan infrastruktur, tenaga medis, alat dan obat-obatan serta penegakan hukum,” ucapnya.
“Kemudian yang ketiga, proses liberalisasi sector kesehatan ini bisa kita lihat dari pertumbuhan rumah sakit swasta pada tahun 2012-2016 mencapai 34 persen, sementara rumah sakit publik hanya 3 persen. Kisarannya rumah sakit swasta sebesar 1.804 dan rumah sakit pemerintah jumlah 1.016,” terangnya.
Dalam hal ini, SRMI Kampar menuntut lima faktor yang harus dijalankan Pemerintah, yakni:
Pertama, seharusnya Pemerintah harus mengevaluasi kinerja BPJS dan segera mengaudit secara menyeluruh penggunaan data BPJS serta pembenahan data peserta BPJS.
Kedua, mengembalikan sektor kesehatan sebagai sektor publik dimana negara memiliki peran sentral dan berkewajiban menjamin kualitas kesehatan rakyat serta menghentikan komersialisasi sektor kesehatan yang menjadikan sector kesehatan sebagai ladang profit yang menguntungkan sebagian orang.
Ketiga, membangun dan memperbanyak Rumah Sakit dan Rumah Sakit Pemerintah sekaligus mengendalikan dan memindahkan Rumah Sakit dan klinik Swasta.
Keempat, mencabut UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU BPJS No 24 tahun 2011 sebagai peraturan neoliberal.
Kelima, mengurangi biaya pendidikan di jurusan kesehatan seperti kedokteran, farmasi, keperawatan, kebidanan yang setiap tahun selalu meningkat tanpa kendali dari Pemerintah. (rls)