OPINI

Re­vi­tal­isasi Me­di­asi Di Peradi­lan Pada Masa Pan­demi Covid-19

banner 160x600

riaubertuah.id

RIAUBERTUAH.ID - Pan­demi Covid-19 adalah tragedi ke­manu­si­aan yang meli­batkan mil­iaran manu­sia ter­dampak. Tidak di­ragukan lagi, ia adalah salah satu han­ta­man terk­eras yang per­nah men­darat di tubuh per­ad­a­ban kita. Hukum se­ba­gai salah satu sup­port­ing sys­tem yang menopang proses in­ter­aksi sosial tidak pula luput dari per­soalan tu­runan ak­i­bat Covid-19.

Layaknya ku­ti­pan Michael Doo­ley dis­as­ter gave me two things: a mo­ment to re­act and a de­ci­sion to over­come, dunia peradi­lan segera bereaksi dan mengam­bil kepu­tu­san mener­bitkan reg­u­lasi yang tidak bi­asa na­mun ter­bukti layak di­apre­si­asi. Lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2020 yang menge­jawan­tahkan Salus Pop­uli Suprema Lex Esto dan surat dari Dir­jen Badan Peradi­lan Umum Nomor : 379/?DJU/?PS.00/?3/?2020 tang­gal 27 Maret 2020 pada gili­ran­nya men­jadi payung hukum dan dasar pi­jakan bagi pelak­sanaan per­si­dan­gan se­cara tele-con­fer­ence;

Dalam sys­tem peradi­lan pi­dana, covid-19 me­mang telah memaksa ter­jadinya pe­ruba­han dalam proses pe­merik­saan pi­dana khusus­nya men­ge­nai ke­hadi­ran ter­dakwa di per­si­dan­gan yang kini tidak hanya di­ar­tikan ke­hadi­ran se­cara fisik, na­mun juga ke­hadi­ran se­cara elek­tronik dalam ben­tuk video con­fer­ence (vi­con). Meski dalam prak­tiknya masih ter­da­pat perbe­daan pen­da­pat den­gan segala alasan­nya apakah pelak­sanaan video con­fer­ence dalam sidang pi­dana ini di­batasi hanya khusus ter­hadap ter­dakwa yang masa pe­na­hanan­nya tidak bisa diper­pan­jang lagi atau juga da­pat diber­lakukan bagi ter­dakwa yang masih da­pat diper­pan­jang pe­na­hanan­nya atau bahkan ter­hadap perkara yang baru dilimpahkan, na­mun tidak da­pat dipungkiri bahwa ke­hadi­ran se­cara elek­tronik su­dah di­ter­ima se­ba­gai norma hukum dan fat­sun yang ja­mak diprak­tikkan oleh hakim.

Jika peradi­lan pi­dana telah berubah ak­i­bat covid-19, peradi­lan per­data terny­ata tidak men­galami hal serupa. Penulis be­rang­ga­pan hal ini se­ba­gian dise­babkan karena peradi­lan per­data me­mang telah lebih dahulu men­gadopsi sis­tem per­si­dan­gan se­cara elek­tronik atau e-lit­i­gasi sesuai den­gan Per­at­u­ran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019. Se­belum itu, sesung­guh­nya Mahkamah Agung telah mem­buka ru­ang bagi ke­hadi­ran sese­o­rang se­cara elek­tronik. Pasal 5 ayat (3) Per­at­u­ran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 ten­tang Me­di­asi  meny­atakan bahwa perte­muan me­di­asi da­pat di­lakukan melalui me­dia ko­mu­nikasi au­dio vi­sual jarak jauh yang memu­ngkinkan se­mua pi­hak sal­ing meli­hat dan menden­gar se­cara lang­sung serta berpar­tisi­pasi dalam perte­muan.

Dalam situ­asi nor­mal, ke­ten­tuan Pasal 5 ayat (3) ten­tang me­di­asi itu cen­derung akan kita ar­tikan bahwa jika ke­hadi­ran fisik men­jadi mem­ber­atkan –mungkin karena para pi­hak di luar daerah atau se­bab-se­bab lain­nya-, maka ter­buka pil­i­han ke­mu­ngk­i­nan ke­hadi­ran se­cara elek­tronik se­ba­gai al­ter­natif dan so­lusi bagi sulit­nya mem­perte­mukan para pi­hak se­cara fisik. Na­mun pengert­ian kita cen­derung berba­lik 180 de­r­a­jat jika kita mem­baca Pasal 5 ayat (3) itu di ten­gah pan­demi sekarang ini. Dalam situ­asi seperti saat ini, ke­hadi­ran se­cara elek­tronik jus­tru men­jadi pil­i­han per­tama karena den­gan melak­sanakan me­di­asi yang berhasil kita be­rarti telah mem­o­tong rantai potensi perte­muan dan berkumpul­nya massa yang ter­jadi se­lama proses per­si­dan­gan.

Lebih jauh lagi, proses me­di­asi yang bersi­fat ter­tutup un­tuk umum se­cara lans­gung memu­dahkan pen­gadi­lan un­tuk men­gontrol jum­lah par­tisi­pan yang hadir di dalam peradi­lan. Jika me­di­asi me­mang mem­berikan man­faat baik dalam proses penye­le­sa­ian perkaranya maupun mem­berikan man­faat dalam mem­o­tong mata rantai penye­baran virus covid-19, tidakkah me­di­asi itu se­layaknya be­tul-be­tul di­ikhtiarkan se­ba­gai salah satu taha­pan penye­le­sa­ian perkara, alih-alih sekedar melepaskan ke­wa­jiban for­mal­i­tas hukum be­laka. Tulisan ini men­coba mengin­gatkan kem­bali arti pent­ingnya me­di­asi di peradi­lan khusus­nya dikaitkan den­gan situ­asi pan­demi covid-19 ini.

Pasal 50 Un­dang-Un­dang ten­tang Peradi­lan Umum sesung­guh­nya telah meny­atakan bahwa kewe­nan­gan Pen­gadi­lan Negeri adalah memeriksa, memu­tus dan menye­le­saikan Perkara Pi­dana dan Per­data di tingkat per­tama. Dalam prak­tiknya kewe­nan­gan memeriksa, memu­tus dan menye­le­saikan perkara ini terny­ata tidak se­la­manya mu­dah di­fa­hami. Ada be­ber­apa ke­salah­pa­haman yang penulis catatkan. Per­tama, Dalam be­ber­apa level kita bahkan da­pat menga­mati bahwa is­ti­lah memu­tus dan menye­le­saikan perkara kadang di­jum­buhkan satu sama lain. Jika dikatakan Mahkamah Agung menye­le­saikan 20.276 perkara di Tahun 2019 dan kare­nanya men­catat rekor penye­le­sa­ian perkara tert­inggi sep­a­n­jang se­jarah, maka ungka­pan terse­but se­cara yuridis for­mal da­pat dibenarkan mengin­gat penye­le­sa­ian perkara di Mahkamah Agung me­mang be­rarti se­le­sai memu­tus perkara, sama hal nya den­gan pen­ga­dian band­ing. Berbeda den­gan ke­d­u­anya, is­ti­lah menye­le­saikan perkara di tingkat per­tama tidak melulu be­rarti memu­tus perkaranya, melainkan be­tul-be­tul menye­le­saikan­nya.

Ke­dua, Se­lama ini masih banyak yang men­gar­tikan bahwa frasa “menye­le­saikan perkara” dalam pasal terse­but ter­batas pada ek­sekusi pi­dana maupun per­data. Pada­hal jika dire­nungkan se­cara filosofis, se­le­sainya perkara da­pat ter­wu­jud tidak hanya den­gan ek­sekusi pen­gadi­lan, melainkan juga per­dama­ian an­tara para pi­hak. ?Bukankah per­dama­ian yang di­hasilkan dari me­di­asi, se­cara serta merta men­gak­i­batkan se­le­sainya perkara. Penye­le­sa­ian yang sesung­guh­nya di­lakukan sendiri oleh para pi­hak dan tidak memer­lukan up­aya hukum lebih lan­jut se­hingga hasil­nya da­pat segera dinikmati.

Me­di­asi di Pen­gadi­lan (court an­nexed me­di­a­tion)  itu sendiri memi­liki se­jarah pasang su­rut yang cukup pan­jang. Pasal 130 Herziene In­land­sch Re­gle­men (HIR) dan pasal 154 Recht­sre­gle­ment voor de Buitengewesten (RBg) men­gatur ten­tang lem­baga per­dama­ian dan mewa­jibkan hakim un­tuk ter­lebih dahulu men­damaikan para pi­hak yang berperkara se­belum perkaranya diperiksa. Ke­ten­tuan ini ke­mu­dian ditin­dak­lan­juti den­gan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 1 Tahun 2002 ten­tang Pem­ber­dayaan Pen­gadi­lan Tingkat Per­tama dalam Men­er­ap­kan Lem­baga Damai yang di­mak­sud dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg terse­but.

Me­di­asi mu­lai berlaku dan bersi­fat wa­jib bagi selu­ruh perkara per­data yang di­a­jukan ke pen­gadi­lan tingkat per­tama se­jak diter­bitkan­nya Per­at­u­ran Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 ten­tang Prose­dur Me­di­asi di Pen­gadi­lan. Tahun 2008, PERMA No. 2 Tahun 2003 di­ganti den­gan PERMA No. 1 Tahun 2008 yang ke­mu­dian di­ganti lagi den­gan Perma No. 1 tahun 2016, den­gan pe­ruba­han men­dasar adanya itikad baik dalam melak­sanakan me­di­asi.

Meskipun me­di­asi memi­liki banyak ke­un­tun­gan dalam proses penye­le­sa­ian perkara di peradi­lan, sam­pai saat ini terny­ata tingkat ke­ber­hasi­lan me­di­asi masih jauh dari angka yang di­hara­p­kan. Dalam la­po­ran tahu­nan ter­akhirnya, Mahkamah Agung men­catat ada 6% perkara per­data yang me­di­asinya berhasil.

Ren­dah­nya ra­sio penye­le­sa­ian perkara melalui me­di­asi ini menu­rut penulis tidak luput dari perde­batan, terutama dise­babkan per­soalan tek­nis pen­catatan. Se­lama ini perkara yang di­catatkan berhasil me­di­asinya adalah perkara yang me­di­asinya berhasil sepenuh­nya, se­men­tara perkara yang me­di­asinya berhasil se­ba­gian, baik dari sub­jek maupun ob­jeknya, tidak di­catatkan se­ba­gai me­di­asi yang berhasil. Se­mestinya di masa men­datang baik yang berhasil selu­ruh­nya maupun yang berhasil se­ba­gian tetap di­catatkan dalam kolom yang ter­pisah, se­hingga da­pat lebih mewak­ili gam­baran ke­ber­hasi­lan dan tingkat ca­pa­ian me­di­asi. Meskipun ra­sio ke­ber­hasi­lan itu masih bisa diperde­batkan, na­mun se­cara umum me­mang harus di­akui bahwa tingkat ke­ber­hasi­lan me­di­asi me­mang belum memenuhi hara­pan.

Ren­dah­nya ra­sio ke­ber­hasi­lan me­di­asi menu­rut penulis dise­babkan be­ber­apa hal: per­tama, min­im­nya sum­ber­daya me­di­a­tor. Per­at­u­ran Mahkamah Agung menye­butkan bahwa se­tiap hakim peradi­lan umum da­pat bertin­dak se­laku hakim me­di­a­tor yang di­tun­juk oleh ke­tua pen­gadi­lan se­lain me­di­a­tor berser­tipikat. Meskipun se­tiap hakim di peradi­lan umum da­pat bertin­dak men­jadi me­di­a­tor, na­mun menu­rut hemat penulis jum­lah hakim di mas­ing-mas­ing pen­gadi­lan juga belum men­cukupi. Ter­lebih lagi dalam be­ber­apa segi, pe­nun­jukan hakim me­di­a­tor masih di­ang­gap se­ba­gai be­ban tu­gas tam­ba­han dis­amp­ing tu­gas pokok memeriksa perkara yang me­mang telah di­tun­juk oleh Ke­tua Pen­gadi­lan kepada hakim terse­but. Kare­nanya, menu­rut hemat penulis akan lebih baik jika baik Mahkamah Agung maupun lem­baga-lem­baga yang di­akui oleh Mahkamah Agung un­tuk terus menggen­car­kan pelati­han-pelati­han me­di­a­tor. Bahkan, ada baiknya jika pelati­han me­di­a­tor oleh Mahkamah Agung juga meli­batkan pe­serta dari Pan­it­era/ Pan­it­era Peng­ganti den­gan hara­pan jum­lah me­di­a­tor berser­tipikat di se­tiap daerah da­pat meningkat jum­lah dan ka­p­a­sitas­nya.

Ke­dua, ku­rangnya pema­haman arti pent­ing me­di­asi. Dari pen­gala­man penulis, hingga saat ini masih banyak jus­ti­cia­bellen maupun kuasa hukum yang ku­rang mema­hami arti pent­ing me­di­asi. Se­ba­gian masih men­gira bahwa proses me­di­asi adalah for­mal­i­tas be­laka se­ba­gai syarat pe­merik­saan di per­si­dan­gan, se­ba­gian lagi me­mang tidak mema­hami kelebi­han dan ke­un­tun­gan me­di­asi. Kendala ini da­pat di­atasi dim­u­lai den­gan komit­men ja­jaran peradi­lan mu­lai Ke­tua Pen­gadi­lan, Hakim Pe­meriksa dan Hakim Me­di­a­tor, dan juga Pan­it­era dan Pan­it­era Muda Per­data yang se­layaknya be­tul-be­tul melak­sanakan fungsi edukatif lem­baga peradi­lan den­gan men­je­laskan kelebi­han prose­dur me­di­asi dis­band­ing up­aya hukum lit­i­gasi. Demikian juga kuasa hukum, se­layaknya meng­in­for­masikan kepada kli­en­nya per­i­hal hak dan ke­wa­jiban im­per­son/?prin­ci­pal dalam proses me­di­asi.

Ketiga, ku­rangnya re­ward. Bagi se­ba­gian kuasa hukum, ke­ber­hasi­lan me­di­asi be­rarti berhentinya fee yang di­ter­ima. Ungka­pan klise ini se­cara seder­hana da­pat disi­asati den­gan mem­buat klausul khusus dalam per­jan­jian kuasa yang men­gatur per­i­hal se­le­sainya perkara melalui me­di­asi. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga di­alami para hakim yang se­cara ex-of­fi­cio bertin­dak se­laku hakim me­di­a­tor, ke­ber­hasi­lan maupun kega­galan me­di­asi bagi hakim ham­pir tidak be­rarti apa-apa. Un­tungnya masih ada ser­tipikat peng­har­gaan bagi hakim yang berhasil men­damaikan para pi­hak. Na­mun ter­lepas dari itu se­mua, be­la­jar dari pen­gala­man, pu­tu­san me­mang mahkota hakim, tapi berhasil men­damaikan para pi­hak yang bersen­gketa se­lalu mem­berikan kenikmatan tersendiri. Mungkin tidak bu­ruk jika para hakim per­data beru­paya se­baik-baiknya un­tuk seti­dak-tidaknya se­lama karirnya per­nah meski hanya sekali, men­damaikan para pi­hak yang berperkara.

Un­tuk menutup tulisan ini, ada baiknya dibuka diskusi dan ka­jian yang lebih men­dalam ten­tang ke­mu­ngk­i­nan per­lu­asan jangkauan me­di­asi sam­pai ke perkara Pi­dana dan perkara Tata Us­aha Ne­gara. Se­jauh ini dalam lingkup peradi­lan pi­dana, kon­sep me­di­asi (atau per­dama­ian dalam arti yang lebih luas) hanya da­pat dimungkinkan dalam perkara anak melalui di­versi den­gan men­gal­ihkan penye­le­sa­ian perkara anak dari proses peradi­lan pi­dana ke luar peradi­lan pi­dana dalam lingkup par­a­digma restora­tive jus­tice.

Jika kon­sep kead­i­lan restoratif da­pat dit­er­ap­kan dalam pi­dana anak, tidakkah ki­ranya da­pat pula dikaji se­cara men­dalam ke­mu­ngk­i­nan dit­er­ap­kan­nya kon­sep itu ke dalam perkara pi­dana lain­nya mengin­gat dalam be­ber­apa je­nis perkara pi­dana kita sulit mendefin­isikan di­mana dan dalam skala be­rapa rusaknya ke­se­im­ban­gan pub­lik ak­i­bat ter­jadinya tin­dak pi­dana itu, tetapi jus­tru da­pat den­gan mu­dah mengi­den­ti­fikasi orang-orang yang pal­ing dirugikan ak­i­bat tin­dak pi­dana terse­but. Jika pi­hak-pi­hak yang dirugikan su­dah da­pat didefin­isikan den­gan je­las, dan keru­gian yang diderita juga da­pat di­hi­langkan dan dio­bati, dan jika keadaan da­pat direstorasi sedemikian rupa, men­gapa pil­i­han restora­tive jus­tice itu tidak mu­lai kita per­tim­bangkan un­tuk dit­er­ap­kan di samp­ing kon­sep kead­i­lan ret­ribu­tif yang se­lama ini telah ma­pan. Demikan pula di peradi­lan tata us­aha ne­gara yang sam­pai saat ini sepema­haman penulis, tidak dike­nal kon­sep me­di­asi. Na­mun seir­ing den­gan pe­ruba­han par­a­digma pe­mer­in­tah itu sendiri mungkin da­pat pula dikaji ke­mu­ngk­i­nan dit­er­ap­kan­nya me­di­asi di peradi­lan tata us­aha ne­gara.